Merawat Budaya dan Adat Istiadat Masyarakat
Nama Kebo Bodo memang terdengar kuno dan terkesan kurang intelek. Diksi uniknya tak jarang membuat khalayak tertawa. Namun, kiprah dan eksistensinya tak bisa disepelekan. Sejak terbentuk pada 23 November 1993 silam, Kebo Bodo konsisten menjalankan visi mulia, yakni merawat keberlanjutan budaya dan adat istiadat masyarakat. Sejumlah misi terus dijalankan meski sederhana. Antara lain dengan menjaga semangat gotong royong serta melestarikan tradisi lokal penggunaan Bahasa Jawa.
Pada 23 November 2022 kemarin, paguyuban berlambang kerbau ini tepat berusia 29 tahun. Puluhan warga yang menjadi anggota punya cara tersendiri dalam merayakannya. Beberapa hari sebelumnya, mereka melakukan aksi sosial berupa bersih-bersih jalan yang menghubungkan antara Kelurahan Kledung Karangdalem dengan Kledung Kradenan. Aksi itu sekaligus menjadi bentuk kepedulian terhadap para pelajar dan petani yang kerap melintasi jalur tersebut. Aksi Kebo Bodo itu mendapat perhatian dari Kepala Desa Pamriyan Kecamatan Pituruh, Budi Susilo, yang memiliki rumah dan kedai bernama Uncle B’s Kitchen di RT 02 RW 02 Kledung Karangdalem.
Secara khusus, ia menyediakan kedainya sebagai tempat tasyakuran hari jadi Kebo Bodo pada Rabu (23/11/2022) malam. Kendati dikemas sederhana dan singkat, acara berlangsung khidmat dihadiri antara lain Plt Lurah Kledung Karangdalem, Taufik Hidayah, bersama Kasi Pemberdayaan, Bhabinkamtibmas Aipda Hendri Setiawan dan Bhabinsa Sertu Nuriswanta.
“Dalam beberapa tahun terakhir, tradisi santunan anak yatim selalu menyertai acara tasyakuran. Namun, penerima santunan dan bantuan tidak kita undang ke acara, bantuan langsung kita salurkan ke rumahnya,” kata Ketua Kebo Bodo, Retno Waluyo.
Menurut Retno, Kebo Bodo merupakan organisiasi di lingkup kelurahan. Awal mula berdirinya dilatarbelakangi oleh keinginan warga untuk melestarikan budaya gotong royong. Beberapa di antaranya yakni membantu anggota saat memiliki hajatan. Sistem bantuan yang diterapkan dalam paguyuban tidak jauh berbeda dengan arisan zaman dulu. Saat ada anggota yang hendak hajatan dan membutuhkan bantuan berupa keperluan hajatan, secara gotong royong anggota lain mencukupinya.
“Setiap bulan kita juga menyisihkan dana sosial yang akan diberikan jika ada anggota sakit atau tertimpa musibah. Selama masa pandemi 2 tahun ini, iuran itu ternyata cukup membantu. Kita ingin meningkatkan kepedulian terhadap sesama,” jelasnya.
Dalam perkembangannya Kebo Bodo tak hanya berpikir untuk kepentingan anggota, melainkan juga warga sekitar. Anggota diajak untuk mengejawantahkan filosofi yang tersirat di balik nama kebo (kerbau) mbodho (membodoh), yakni berupaya untuk menjadi manusia yang rendah hati, berani merasa bodoh, mau belajar dan tidak merasa paling pintar. Nama Kebo Bodo yang mengangkat kearifan lokal juga mengajarkan sikap kesederhanaan dan kebermaknaan dalam bermasyarakat.
“Dulu anggotanya mencapai 50-an orang, sekarang sekitar 30 orang karena banyak yang pindah rumah ke wilayah lain. Kita bersyukur yang muda-muda sekarang mulai berminat untuk bergabung, ada juga yang berprofesi sebagai TNI,” ujarnya.
Eksistensi Kebo Bodo dinilai turut mendukung program pemerintah dalam
sejumlah hal, khususnya pelestarian budaya gotong royong dan penggunaan
Bahasa Jawa. Plt Lurah Kledung Karangdalem berharap agar Kebo Bodo dapat
konsisten dengan visi dan misinya.
“Budaya gotong-rotong memang penting dilestarikan agar generasi muda
tidak kehilangan jati diri bangsa. Meski namanya kekunoan, paguyuban ini
sangat menarik karena merawat penggunaan bahasa Jawa yang saat kini
sudah mulai luntur di masyarakat,” ungkap Taufik Hidayah. (widarto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar